Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai lembaga kenegaraan sesuai dengan fungsionlitasnya masing-masing. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Indonesia dikendalikan oleh sejumlah lembaga penting, salah satunya adalah DPR (dewan perwakilan rakyat). DPR sebagai dewan perwakilan rakyat punya andil besar dalam menjalankan roda pemerintahan di Tanah Air. Dalam struktur kepemerintahan Indonesia kita mengenal yang namanya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kesemuanya merupakan unsur-unsur struktural terpenting dalam pemerintahan Indonesia. Mungkin masih ada masyarakat yang sebenarnya belum sepenuhnya memahami apa itu Legislatif hinggaYudikatif
Seorang pemimpin mempunyai cara dan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam mengaktualisasikan kekuasaan dan kebijakannya masing-masing. Dalam jurnalnya, Kartono (2009 dalamUtami, 2013) menyebutkan beberapa gaya kepemimpinan, di antara lain:
1) gaya kepemimpinan paternalistik
2) gaya kepemimpinan karismatik
3) gaya kepemimpinan bebas
4) gaya kepemimpinan demokratis
5) gaya kepemimpinan otokratis
6) gaya kepemimpinan militeristis
7) gaya kepemimpinanpopulistis
8) gaya kepemimpinan administatif atau eksekutif
Gaya kepemimpinan seseorang erat kaitannya dengan bagaimana cara pemimpin dalam mempersuasi orang lain melalui retorikanya. Oleh sebab itu, pemimpin sering mengandalkan kata kata yang diucapkannya untuk mempengaruhi dan memobilisasi pengikut mereka dan meyakinkan masyarakat tentang manfaat yang dapat timbul dari kepemimpinan mereka. Salah satu bentuk dari pelaksaan aturan, yaitu melalui penegakan kebijakan. Pada dasarnya, kebijakan dibuat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat, namun terkadang beberapa orang tidak dapat menerima kebijakan baru yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, retorika seorang pemimpin dalam menyampaikan kebijakan sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu kebijakan baru di dalam masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, kami tertarik untuk mengkaji tentang retorika dan gaya kepemimpinan Ahok dalam mempersuasi masyarakat dengan gaya dan tutur bahasa yang disampaikan.Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok merupakan salah satu pemipin, lebih tepatnya seseorang yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini. Beliau cukup ramai dibicarakan oleh masyarakat karena memiliki retorika dan gaya kepemimpinan yang berbeda dibandingkan pemimpin lain. Beliau dipandang sebagai pemimpin yang arogan, tempramen, dan to the point.
Bisa dibilang selama ini warga Jakarta sudah menerima keruwetan dan segala macam komplikasi kenegatifan Jakarta dengan pasrah. Mereka mungkin berfikir itulah yang memang terjadi dan akan seterusnya seperti itu, namun Ahok hadir disana dan mulai memvisualisasikan keadaan Jakarta yang sebenarnya kepada masyarakat dan menunjukkan bahwa keruwetan dan segala komplikasi tersebut dapat diatasi. Tentunya ia memvisualisasikannya melalui retorika yang tegas. Contohnya adalah kebijakan yang ia lakukan mengenai pengaturan Tanah abang yang ruwet. Perda tentang ketertiban umum sudah ada sejak lama, tapi nampaknya Perda tentang ketertiban umum juga telah lama diinjak-injak dan tidak digubris oleh para Pedagang Kaki Lima dan preman yang mem-backing mereka. Para pembuat Perda sebelumnya mungkin juga sudah melakukan banyak hal untuk menegakan peraturan tersebut. Hanya saja ketika kemudian persoalan menertibkan pedagang kaki limaini juga harus berhadapan dengan dunia gelap premanisme, mereka tidak punya nyali. Terlebih ketika dibalik premanisme Tanah abang itu ternyata ada oknum-oknum hantu yang tidak dapat tersentuh dansecara kasat mata kebal hukum dimana pengaruh mereka mencengkeram kekuasaan tertinggi di negeri ni. Semakin ciut lah nyali para aparat itu untuk menegakan ketertiban umum. Daripada mereka kehilangan nafkahnya, lebih baik mereka tutup mata dan telinga soal Tanah abang. Berpuluh tahun situasi pembiaran itu terjadi. Dan orang Jakarta nyaris percaya bahwa di Tanahabang kesemrawutan itu memang sebuah keniscayaan yang harus diterima secara legowo dan pasrah.Warga Jakarta tidak mampu melakukan apa-apa dengan keadaan Tanah abang yang seperti itu.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah memutuskan maju
melalui jalur independen pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta
2017. Mantan Bupati Belitung Timur ini tidak ingin mengkhianati dukungan yang
sudah dialamatkan kepadanya. Saat jumlah dukungan sudah melebihi ambang batas
sesuai aturan Komisi Pemilihan umum (KPU), maka sesuai janji, Ahok akan maju
menjadi bakal calon gubernur melalui jalur independen.
Ahok sudah harus siap dengan segala tantangan di depan, yakni partai politik
dan calon-calon yang diusung dalam pilkada. Tantangan paling realistis berasal
dari parpol-parpol besar "penguasa" DKI Jakarta yang telah dibuktikan
dalam perolehan suara mereka pada Pemilu 2014 lalu. Parpol seperti ini telah
memiliki mesin partai yang tertata.
Pasangan bakal calon (balon) gubernur dari PDIP adalah kandidat lawan
paling kuat, meski belum tentu punya popularitas dan elektabilitas setinggi
Ahok. Dengan 28 kursi di DPRD DKI Jakarta, PDIP dapat mengusung balon gubernur
tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Sedangkan pasangan balon gubernur
lainnya adalah dari koalisi parpol selain Nasdem, mengingat partai besutan
Surya Paloh ini jauh-jauh hari sudah menyatakan mendukung Ahok.
Fenomena kemunculan Ahok dan para pendukungnya merupakan potret dalam
politik yang bisa menjadi catatan bagi perjalanan demokrasi Indonesia ke depan.
Dukungan kepada Ahok juga menjadi membuka kenyataan bagaimana para pemimpin
daerah dipilih.
Kenyataan tersebut antara lain, pertama, tidak semua parpol
dapat menampung aspirasi rakyat, sehingga muncul celah jalur independen.
Idealnya, kandidat kepala daerah diusung oleh partai politik sesuai fungsi
keberadaan parpol meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Namun, kenyataan
kemunculan calon-calon independen pada pilkada adalah bukti bahwa aspirasi
rakyat belum semua dapat tersalurkan melalui parpol.
Kedua, sudah menjadi kecenderungan bahwa parpol lebih mengutamakan kadernya. Demi
kepentingan partai atau pengurus partai, maka yang diusung sebagai kepala
daerah rata-rata adalah elite pengurus parpol di daerah.
Ketiga, parpol menentukan harga yang harus dibayar oleh calon dari luar partai.
Parpol menjadi kendaraan politik sehingga setiap calon dari luar harus membayar
"tiket" perjalanan menuju pilkada.
Keempat, untuk menaikkan posisi tawar maka parpol mengulur waktu hingga saat-saat
terakhir penyelenggaraan pilkada. Dengan semakin banyak pelamar untuk memakai
kendaraan parpol, maka "tiket" semakin mahal dijual.
Empat hal tersebut menyebabkan terbukanya peluang terpilihnya pemimpin yang
tidak berintegritas di kemudian hari. Cara-cara seperti itu membuat Indonesia
tidak menemukan calon-calon pemimpin yang bemutu. Hanya sosok-sosok bermodal
kuat yang mampu menjadi kandidat padahal belum tentu modal itu didapat dari
cara yang halal.
Kemunculan calon independen dengan dukungan masif seharusnya membuat parpol
mengoreksi diri. Sedangkan dari proses perjalanan pencalonan Ahok kita
mendapatkan pelajaran. Pertama, rakyat mengapresiasi pemimpin yang bersih, tegas, transparan, dan bekerja
demi kepentingan rakyat. Kampanye anti-Ahok bertebaran di dunia maya. Bukan
karena kinerjanya melainkan karena ia etnis Tionghoa dan non-Muslim.
Pembawaannya yang cenderung kasar juga dianggap kelemahan Ahok. Namun, dukungan
terhadap mantan Bupati Belitung Timur ini nyatanya tidak surut. Hasil kerjanya,
displin yang diterapkan, penyikapannya terhadap berbagai persoalan Jakarta
mendapat apresiasi warga.
Kedua, dukungan tanpa syarat dari partai Nasdem kepada Ahok merupakan angin
perubahan di arena pemilihan kepala daerah. Ternyata ada partai yang tak
menuntut mahar atau syarat pada kandidat yang diusungnya.
Sudah menjadi wacana umum bahwa tiap calon yang akan maju melalui jalur
parpol wajib memberikan mahar untuk bisa diusung. Popularitas dan elektabilitas
seolah belum cukup menjadi modal sang calon. Posisi tawar parpol masih tinggi,
sebab merasa sebagai kendaraan yang akan membawa calon beradu di pilkada. Tanpa
kendaraan, sulit bagi calon untuk maju bertanding.
Ketiga, kemunculan Ahok melalui jalur independen bakal membuktikan bahwa parpol
bukan segala-galanya. Keberadaan parpol adalah keniscayaan dalam proses
kepemimpinan politik. Namun, regenerasi amburadul serta integritas parpol yang
terus merosot karena banyak kadernya yang terjerat korupsi telah membuat
kepercayaan masyarakat luntur. Beruntung di tengah kondisi tersebut ada
alternatif dukungan diarahkan yakni jalur independen.
Keempat, profesionalitas kelompok Teman Ahok, kelompok yang mengorganisasi dukungan,
patut menjadi catatan. Dukungan kepada Ahok dikumpulkan dengan terorganisasi.
Tak akan ada dukungan fiktif seperti yang selama ini terjadi pada sejumlah
calon. Mereka yang menyerahkan fotokopi KTP dukungan benar-benar pendukung,
bukan orang yang dibayar untuk menyertakan KTP. Bahkan manakala dukungan yang
didapat sudah melampaui batas sesuai aturan KPU, tim Teman Ahok tetap berusaha
menghitung ulang dukungan ketika Ahok menyatakan Kepala Badan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Santoso sebagai calon pasangannya
nanti. Tim Teman Ahok tidak serta merta mengklaim bahwa mereka yang mendukung
Ahok setuju keberadaan Heru sebagai wakil Ahok kelak. Proses menghargai
dukungan atau suara rakyat seperti ini layak dicontoh.
Melalui jalur independen, nantinya Ahok tidak akan mudah tersandera atau
tunduk pada kehendak parpol. Ia akan lebih mudah memperjuangkan aspirasi
rakyat, meski melihat karakter kepemimpinan, Ahok adalah tipe yang tidak mau
dikekang parpol. Ia hanya ingin memperjuangkan kepentingan rakyat.
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil
dengan bentuknya republik. Dalam memilih para pemimpinnya baik itu di lembaga
eksekutif (Presiden, Gubernur dan Walikota) maupun di legislatif (DPR, DPRD,
DPD) pastilah melalui pemilihan umum. Partai politik adalah wadah bagi
seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin di eksekutif maupun
legislatif. Jika seorang ingin maju tidak melalui partai politik atau dengan
kata lain dari independen, sebenarnya dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan
dalam infrastruktur politik tidak cuma parpol yang dapat digunakan sebagai
sarana untuk mencapai suprastruktur politik (eksekutif maupun legislatif) namun
juga ada media massa, kelompok penekan, kelompok kepentingan maupun juga jika
dia adalah seorang tokoh masyarakat / ahli dalam bidang tertentu. Salah satu
contoh yang dapat kita lihat dari fenomena calon independen ini adalah saat
pemilihan gubernur DKI Jakarta. Salah satu pasangan calon maju lewat jalur
independen alias tidak melalui partai politik, karena keduanya adalah tokoh
maupun ahli yang cukup lumayan dikenal di wilayah Jakarta. Dengan maju melalui
jalur independen ini, maka pasangan inipun tidak memiliki kewajiban untuk
"balas budi" kepada parpol yang mendukungnya karena murni rakyat yang
memilih dia tanpa dukungan dari partai. Apabila dicermati, ini menunjukkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun karena sebagian
parpol anggotanya banyak terlibat kasus korupsi. Sehingga masyarakat merasa
tidak percaya lagi dengan calon dari parpol, padahal tidak semua calon dari
parpol itu buruk. Makin maraknya fenomena calon independen ini karena parpol
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam rekruitmennya
yang artinya mencari orang berbakat tidak secara kompetensinya akan tetapi
berdasarkan kedudukan atau kekayaan orang tersebut. Calon gubernur bahkan calon
presiden independen (non parpol) kemungkinan akan makin marak menjelang pemilu
2014 mendatang. Meski belum dibuktikan, akan tetapi kemungkinan besar calon
yang maju lewat independen jika terpilih nantinya pasti akan mengutamakan
kepentingan rakyat dibandingkan calon yang terpilih dari parpol. Karena biar
bagaimanapun dalam membuat suatu kebijakan, pasti peran parpol dalam perumusan
kebijakan cukup besar dan diharapkan tidak akan merugikan kepentingan partainya
bahkan jika perlu mengorbankan kepentingan rakyat.
Ahok akhirnya dapat menunjukkan bahwa dengan ketegasan dan kekerasan niat yang
elam ini ditunjukkan dengan retorikanya dapat memuluskan kebijakan yang selama
ini susah dan rumit untuk dilakukan. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok mengatakan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak
pernah meminta mahar darinya terkait pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
mendatang. Hanya, dengan memilih jalur independen, Ahok mengaku tidak perlu
mengeluarkan uang banyak untuk mekanisme partai.
Jalur independen biayanya bisa lebih murah, karena tidak perlu biaya untuk
menggerakan seluruh mesin partai. Masyarakat yang bergerak sendiri (Ahok2016)
Ahok mengatakan dengan memilih jalur independen ini, seluruh biaya berasal dari
dana sumbangan masyarakat. Biaya tersebut misalnya digunakan untuk cetak 200
ribu formulir dukungan atau kaos kampanye. Ahok telah memutuskan untuk memilih
jalur independen bersama Teman Ahok, relawannya, ketimbang menunggu partai yang
meminangnya. Keputusan ini didesak oleh Teman Ahok lantaran mereka harus
memverifikasi ulang pendukung Ahok setelah memilih Kepala Badan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Hartono sebagi pasangannya dalam
Pilgub 2017 hingga Juni 2016 mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar